Refleksi Agamis yang Manis dari Karya Cerpen (Lubis Grafura) Oleh : M.Fitran Salam

diambil secara mentah dari redarbanjarmasin

Bagai menikmati mie instan ala iklan Tora Sodiro,’enyak enyak nyak nyak’ dan semakin dalam memang semakin menyentuh nikmat,begitu sering terasa menikmati karya cerpen. Namun terkadang bagai mengupas kelapa tua kering, berserabut dan berbatok tebal dan kemudian cuma mendapatkan isi daging yang tipis.

Menginklusi simbol-simbol agamis ke dalam karya cerpen tentu tidaklah semudah menyajikan mie instan bila untuk memberi nilai lebih dari sebuah karya sastra, cerpen khususnya. Nilai lebih yang saya maksud adalah sebentuk nilai agama/ ketuhanan yang direka manis, tidak terasa bombas, menggurui dan terkesan dipaksakan, ataukah hanya sebagai tempelan kebiasaan yang tidak memiliki arti. Tetapi diharapkan mampu menumbuhkan daya renung mendalam, berdaya untuk memperbaiki, pencerahan dan berarti.

Nilai-nilai agama/ ketuhanan yang menginklusi simbol-simbol agamis pada karya sastra (cerpen) sepertinya dan semestinya dituntut daya ungkap yang lebih kuat, lebih evokatif karena ia telah terpandang lebih esiensial dari simbol-simbol budaya umumnya, hal ini setidaknya tersirat dari sebuah pertanyaan Sainul Hermawan; “Mengapa daya ungkap yang kuat ini justru hadir bersama perempuan, bukan dengan masjid?” Kapasitas pertanyaan Sainul Hermawan itu melihat ke dalam karya puisi Ariffin NH (RB,12-3-2006), tapi dapat dipahami melebar pada karya sastra lainnya. Dan saya pun tergelitik untuk menyimak kembali simbol-simbol agamis, nilai-nilai ketuhanan yang terdapat dalam beberapa karya cerpen.Ya, beberapa saja, tidak masuk langlang ke hutan raya cerpen, istilah Jamal T. Suryanata.

“Perempuan Lembah” Maman S Tawie (RB,27-2-06) menempatkan simbol keagamaan sebagai pembuka, ilustrasi waktu;”Magrib baru saja// Kumandang adzan magrib dari radiotransistor kepala dusun sudah sekitar dua puluh lima menit berlalu”. Selanjutnya tidak berkait dengan tema dan watak karakter tokoh. Sepertinya biasa, lazim karena pada cerpen lain pun – juga kisdap – hal serupa mudah saja ditemukan, rasa saja yang mungkin tidak sama karena bentuk pengolahan juga beda.

“Godspot” Sainul Hermawan (Jurnal Cerpen Borneo 2) menjadikan keagamaan/ ketuhanan sebagai tema cerita. Dengan tokoh kontroversial Sainul menggugat, mengkritik dan menantang terhadap bentuk-simbol ketuhanan yang ia temukan pada orang-orang yang merasa memiliki tuhan dan menjajakannya bagai sales produk dagangan; yang ia jumpai pada dan terpampang di baliho, billboard, stiker, brosur, pamplet, film, televisi, puisi, novel, AD/ ART partai, undang-undang dan di gapura lokalisasi.

Tokoh, si pencari kesucian/ bahasa suci, yang diliput “kenikmatan” ide kiri, penuh luapan ilusi ide-ide materialisme historis(?), dan tantangannya yang berani, arogan adalah menantang kutukan tuhan yang dianggapnya cuek dengan keadaan. Dengan menginjak-injak kitab suci yang telah dibentangkannya di tengah ruang, seraya menantang agar dikutuk ;“Kawan, kamulah saksi sejarah itu. Saksikanlah caraku mencari tuhan, membangunkan Tuhan dari kecuekannya”. Sesaat kemudian dia meloncat dan mendaratkan kedua kakinya di atas kitab itu. Dia menginjak-injaknya dan berkata;

“Tuhan kutuklah aku jika kau memang benar-benar ada! Kutunggu hari ini, besok, lusa, bulan ini, tahun ini, kapan saja!”

Kutukan itu masih ditunggunya, meski ia merasa lelah, tak tahu pasti dan ragu; “Aku juga tak tahu pasti, apakah tuhan tak jadi mengutukku. Tetapi mungkin juga ia telah mengutukku lewat air panas yang telah mengobah kaki kananku, atau lewat hatiku yang tak pernah berhenti sedih di sela-sela berahi yang abadi, atau lewat labirin-labirin otakku yang tak sudi berhenti mendenyutkan pening.”

Cerpen itu mengenaskan tetapi berujud merangsak pikiran hingga ke ujung cerita; “Aku kini jadi guru honorer di yayasan saudaraku. Di sini aku mengajar bahasa inggeris dan sejarah. Tapi aku masih menunggu kutukan tuhan itu :T=N/K.”.

Sainul, dengan rumus matematika ketuhanan itu masih ingin memacu pikiran pembaca, ia tidak menjelaskan apa arti simbol hurup T, N dan K. Atau ia telah merasa memberikan penjelasan lewat cerita yang telah tersaji? Namun saya yakin, dalam hal wujud Tuhan sesungguhNya; T=/=N/K, sebab dilihat bentuk rumus itu; N=TxK; K=N/T. Maka T kehilangan vitalitasnya, eksestensinya, menjadi sejajar dengan N dan K.

Anna Fajar Rona, “Subuh Pertama di Masjidil Haram”,(RB,9-4-06) mengangkat Masjidil Haram -ibadah haji- terasa ringan, menyentuh dan enak, mendapatkan suatu bentuk ibadah berdasar atas kekuatan Ilahi, bukan kehendak aku, bukan karena ibadah itu sendiri, yang di antara etikanya adalah; Gugur permulaannya karena terhenti pada ibadatnya saja. Lewat Anna FR, seorang Dargi alkoholis, do’anya memberikan pelajaran atas kehendaknNya itu, bukan karena beban kewajiban;”…bimbinglah hamba Ya Allah, mudahkan hamba dalam menyelesaikan ibadah atas panggilanMu ini”.

“Angin Arbain”, A.Rahim Qahhar,(Horison,XXXIX/12/04) dengan ibadah haji dan tanah haramnya dibuat latar dari cerita pertemuan dua cucu Adam, lain jenis bukan mahram. Lelaki berumur seusia akhir Rasulullah, cucu 13 bertemu dengan wanita bersuami pun beranak yang telah gadis. Pertemuan seperti dikatakan bumi; ”Lihat, cucu Adam mulai kasmaran”.// Mungkin hanya fatamorgana padang pasir, sebuah khayali. Bagaimana manisnya cerpen itu? Tentu saja mutu keseluruhannya tak diragukan karena “Angin Arbain” berada di jajaran cerpen terbaik sayembara Horison 2004.

Pada cerpen Tangisan Tak Berpeluh ,Lubis Grafura,(RB 26-1-2006) saya temukan nilai lebih lain, dapat memberikan pencerahan dan perenungan; “Aslika. Dengar saya ya. Kalaupun aku tak terlalu pintar ngomong soal agama, tetapi Tuhan berjanji bahwa suami atau jodoh yang kelak kau terima itu adalah sebagian dari sikap laku di masa lalumu. Jika dirimu baik, maka suamimu adalah orang yang baik. Lihatlah ke cermin hatimu, berkacalah di sana. Kau, wanita yang baik! Aku melihatnya!”

Paragraf itu merujuk –yang dalam konteks cerita- pada ayat Al-Qur’an surah An-Nuur ayat 3, ”Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan berzina atau perempuan yang musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mu’min”.

Aspihan N. Hidin,”Berikan Aku Arti” (RB,10-4-05), tokoh muda Marbahan penyandang titel S Pdi ini bergaya aktif; aktif di pengajian, pembicara seminar, pelukis kaligrafi, punya usaha percetakan, sablon, penambak ikan, hobi memancing, main bulu tangkis sekaligus

kutu buku yang ingin berikan aku arti menjadi banyak “memberikan arti”.

Arti yang mana diminta/ dicari tokoh cerita itu? Sepertinya berawal pada ayat Al-Qur’an, Ar-Ruum 21, yang dalam cerita itu hadir ‘berdampingan’ dengan wajah (gadis?) yang menerawang di plapon kamar si tokoh cerita; “Aan memanjakan tubuhnya di tempat tidurnya, sehabis salat magrib dan baca Qur’an. Ia me rawang ke atas kamarnya entah mengapa seakan-akan ada sebuah lukisan wajah di plapon. Ia mencoba mengulang… Sudah puluhan wajah…tapi tak satu pun yang mirip. Setiap kali ia bertanya kepada hatinya tentang bayangan wajah itu, setiap itu juga ia teringat sebuah ayat al Qur’an surah Ar Ruum 21 yang kandungan intinya tentang hakekat sunatullah berupa mahligai suci berhias cinta dan kasih sayang”.

Ar Ruum 21, (terjemahannya) sudah biasa/ sering kita temukan di lembar undangan perkawinan, dan itu lazim dikerjakan oleh orang percetakan/ penyablon. Bukankah lebih manis memaksimalkan upaya mereka-manis realita; jika Aan sang tokoh cerita yang juga pencetak/ penyablon itu sekali menerima order, sekali menerima undangan perkawinan ia merasa tersentuh dengan misteri ayat 21 ar Ruum itu. Ia akan lebih rasional dan tidak mengurangi kemisteriannya, suasana psikologis bisa lebih terbangun, tidak harus diseret ke tempat tidur dengan menerawang, setelah salat dan baca al Qur’an, yang dua hal ini justru lebih manis dan bermuatan memotivasi untuk mengawali pengungkapan misteri ayat dimaksud?

Kemisterian ayat itu sepertinya terjawab dan arti didapat. Gurunyalah yang telah memberikan penjelasan dan pemahaman. Dengan memadatkan beberapa ayat al Qur’an (terjemahannya) sebagai penjelasan atau petuah sang guru, perangkuman yang cukup manis, pencerahan dan berdaya cerna dari ayat-ayat yang terdapat pada; Q.S al Baqarah 20, adz Dzariyaat 56, al A’raf 172 dan Hud 61. Penjelasan atau petuah itu cukup panjang, boleh jadi masih ada dalil naqli lain yang tidak dapat saya sebutkan. Dengan itu cerita Berikan Aku Arti belum berakhir, masih berlanjut dengan banyak “memberikan arti”.

Puthut EA,”Tentang Kepulangan” (Kumpulan Cerpen; Dua Tangisan pada Satu Malam, Kompas, Mei 2003), dengan gayanya sendiri menyentil manis, mungkin itu tidak terasa bahwa ia mengkritik guru ngaji dari golongan tertentu yang tidak suka ditanya murid; “Guru ngajiku ada tujuh. Satu dari Muhammadiyah, enam dari Nahdhatul Ulama. Hampir semua guru ngajiku tak suka padaku,karena aku keliwat suka bertanya. Mereka bilang hamba Tuhan yang baik menerima begitu saja, apalagi anak kecil. Tapi aku pintar, sehingga mereka tak punya banyak alasan untuk menyalahkanku. Tapi, aku sayang pada mereka, mungkin karena aku jarang benci sama orang” ,(hal.84).

“Tentang Kepulangan” Puthut notabene tidak bercerita tentang keagamaan, menutup ceritanya dengan sebuah do’a kepada Tuhan. Do’a seorang perampok bank agar tidak tertangkap polisi. Tetapi saya merasakan lebih manis dengan penutup Kisdap “Bulan Bulat Bulaling” Jamal T Suryanata; “Kada saapa tadangar inya mengaji mailun sambil maristai hidup nang sudah dilakuni; Ya ayyuhan nafsul mutma’innah. Irji’ii ilaa rabbiki radhiyatam mardhiyyah. Fadkhuli fii’ibadii. Wadkhulii jannati; Kada karasaan, balilihan banyu mata di pipinya. Kada karasa an, basah batubal tapih bakurungnya”(Galuh, Sakindit Kisdap Banjar, RB. hal.78)

Refleksi agamis yang manis dari karya cerpen, entah di-sebagai-pembuka, ilustrasi waktu, tema, latar, pencerahan, kritik maupun di bagian penutup cerita dengan semaksimal pengolahan meracik-manis penyajiannya pada akhirnya kembali kepada apresiasi para

pembaca, penikmat. Semanis apa yang dapat ia rasakan atau tawar adanya.***

*) Cerpenis, tinggal di Martapura

1 Komentar »

  1. razali Said:

    baguss banget deh yang banyak ya karyanya ?


{ RSS feed for comments on this post} · { TrackBack URI }

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.